Jakarta, Padek—Program mencetak Sekolah Berstandar Internasional (SBI) melalui pembentukan Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI) yang dimulai sejak 2005 lalu jalan di tempat. Sebagian besar sekolah terkesan mengakhiri perjuangan mereka ketika sudah mendapatkan label RSBI. Evaluasi 2011 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menyebutkan, seluruh RSBI yang ada di negeri ini belum layak menjadi SBI.
Hasil dari evaluasi tersebut menerangkan, jika seluruh RSBI yang jumlahnya mencapai 1.305 belum layak naik tingkat menjadi SBI. Kondisi ini cukup kontras dengan strategi awal pencananganan program. Waktu itu, dirumuskan jika keberadaan sekolah berlabel RSBI ini hanya cukup tiga tahun saja untuk SD, empat tahun (SMP), dan dan lima tahun (SMA dan SMK). Tapi nyatanya, sudah berjalan enam tahun tetapi balum ada satu pun RSBI di negeri ini yang menjadi SBI.
Plt Dirjen Pendidikan Dasar (Dikdas) Kemendikbud Suyanto mengatakan, faktor mandeknya perkembangan RSBI sebagai pioneer terciptanya SBI cukup banyak. Di antara yang paling mencolok, katanya, adalah faktor sumber daya alam (SDA). Lemahnya SDA pengajar di sekolah RSBI ini bisa dilihat dari komposisi guru bertitel S-2
Suyanto mengatakan, SD berlabel RSBI jika ingin naik tingkat menjadi SBI harus menyiapkan minimal 10 persen guru bertitel S-2 atau pascasarjana. Sedangkan untuk tingkat SMP harus ada 20 persen guru lulusan S-2, dan tingkat SMA atau SMK harus ada 30 persen guru bergelar magister jika ingin naik tingkat menjadi SBI. ”Ketentuan komposisi ini masih belum terwujud di RSBI manapun,” kata dia usai memberikan penghargaan siswa pemenang catur tingkat dunia di Jakarta kemarin (3/1). Hampir di seluruh RSBI di negeri ini, pendidik yang tamatan S-2 masih kepala sekolah saja.
Tidak berkembangnya jumlah guru bergelar magister di sekolah RSBI ini disorot oleh jajaran Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB PGRI). Ketua Umum PB PGRI Sulistyo menyayangkan kondisi kurangya guru-guru di sekolah RSBI yang lulus pascasarjana. ”Padahal, kementerian (Kemendikbud, red) memiliki program bantuan peningkatan kualifikasi pendidikan,” katanya.
Usut punya usut, ternyata saat upacara Hari Guru Nasional yang digelar November lalu, duit untuk program bantuan peningkatan kualifikasi peningkatan pendidikan guru tidak terserap optimal. ”Saat itu (November, red) Mendikbud mengatakan serapan bantuan masih 50 persen,” katanya.
Minimnya serapan uang bantuan untuk peningkatan kualifikasi pendidikan ini disebabkan karena amburadulnya data guru. Baik itu yang bersedia teken kontrak untuk kuliah S-2, atau pun data guru yang sedang menempuh pendidikan S-2. Sulistyo memuji sejumlah daerah yang memiliki inisiatif merotasi guru-guru yang ada di sekolah RSBI.
”Jadi, guru-guru yang lulus S-2 digeser ke sekolah RSBI,” katanya. Tetapi, lanjut Sulistyo, masih banyak perjuangan peningkatan komposisi kualifikasi guru yang hanya dijalankan marathon oleh kepala sekolah saja.
Tetap Optimistis Naik Kelas
Tetap Optimistis Naik Kelas
Di tengah karut marutnya urusan RSBI yang tidak kunjung menelorkan sekolah berlabel SBI, sempat memunculkan desakan untuk mengubah lagi menjadi SSN (Sekolah Standar Nasional). Usulan ini semakin kuat ketika di masyarakat cap RSBI sebagai sekolah berbiaya mahal kian melekat.
Terkait desakan penurunan RSBI menjadi SSN, Suyanto segera meluruskannya. Menurut dia, upaya yang lebih bijak adalah terus mendampingi keberadaan RSBI yang sudah ada saat ini. ”Kita dampingi, kita dorong terus untuk bisa menjadi SBI,” katanya.
Suyanto bahkan mengatakan, untuk sementara ini keberadaan RSBI bisa menghemat pengeluaran devisa negara. ”Dengan adanya RSBI ini, bisa menekan orang-orang menyekolahkan anaknya keluar negeri. Ke Singapura misalnya,” tutur pejabat yang gemar berjejaring sosial lewat Facebook itu.
Dia menegaskan, upaya pemerintah saat ini fokus untuk meningkatkan kualitas RSBI yang sudah ada. Di antaranya, menggenjot kualifikasi para pendidik sehingga bisa sesuai dengan ketentuan menjadi SBI. Supaya fokus kegiatan ini tidak terganggu, Kemendikbud menyetop sementara atau menjalankan kebijakan moratorium usulan RSBI baru. Bagaimana dengan tahun ini? Suyanto menegaskan, selama belum ada SBI, penghentian usulan pendirian RSBI baru masih distop.
Sementara itu, Suyanto juga berupaya meluruskan pandangan masyarakat jika RSBI itu dekat dengan sekolah yang berbiaya mahal. ”RSBI yang mahal itu hanya di Jakarta,” tegas dia. Suyanto mengatakan, ada daerah-daerah yang menjalankan program RSBI dengan baik.
”Contohnya di Surabaya. Ada aturan yang menggratiskan siswa miskin untuk belajar di RSBI,” katanya. Upaya ini sudah sejalan dengan ketentuan Kemendikbud yang mewajibkan setiap sekolah RSBI menyisihkan 20 persen kuota untuk anak miskin berprestasi. Suyanto mengatakan, di lapangan banyak sekolah yang kesulitan ketika harus menutup kuota untuk anak miskin berprestasi itu.
Di tengah ketidakpastian akan munculnya sekolah berlabel SBI, Suyanto mengaku optimistis target itu masih tetap ada. Apalagi, pembentukan SBI ini adalah amanah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Pasal 50 Ayat 3. Yang bunyinya, pemerintah dan atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan di semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan bertaraf internasional.
Suyanto mengatakan, pendampingan peningkatan RSBI menjadi SBI bakal dilakukan secara optimal. ”Kami tidak ingin SBI nanti hanya gagah-gagahan saja,” ucap Suyanto. Dia juga tidak memungkiri, kualitas RSBI yang mulai menjamur dua tahun terakhir tidak semuanya bagus. Dia menganalogikan, kualitas RSBI seperti degradasi warga. Ada yang bagus dan sedang. Bahkan ada RSBI yang kualitasnya di bawah sekolah yang masih berlabel SSN atau tidak berlabel sekalipun.
0 komentar:
Posting Komentar